Hari ini sungguh melelahkan. Hari ini juga sangat mengejutkan. Seseorang yang dengan tak sengaja ku kenal, yang tak ku sangka akan bertemu dengannya kembali, ternyata adalah calon saudara tiriku. Elang, lelaki yang menyenangkan itu, ternyata adalah calon saudara tiriku. Ku coba tuk menerima apa yang akan terjadi. Ya, aku akan menerima semua yang akan terjadi. Toh jika nanti ibu jadi menikah dengan Pakdhe Kartono, itu adalah sebuah takdir. Semua orang memiliki takdir yang tak bisa ditolak, salah satunya jodoh. Dan mungkin ibu memang berjodoh dengan Pakdhe Kartono. Aku memandang langit-langit kamar, lalu mencoba memejamkan mata di malam yang hening ini.
#Aku berjalan menyusuri bibir pantai. Ku rasakan sepoi-sepoi angin yang menerpa tubuhku. Ku rasakan ombak-ombak kecil yang menyapu kakiku, membasahi gaunku yang berwarna putih. Ku rasakan hari ini aku seperti sedang berada di serial drama korea ataupun sebagai model dalam video klip artis ibu kota. Aku merasa benar-benar lepas, tenang. Dada ku benar-benar ringan, tanpa beban. Lalu langkahku terhenti. Seekor penyu kecil menabrak kakiku. Ku ambil penyu kecil itu. Kasihan sekali. Penyu kecil ini hanya seekor diri. Mungkin ia terpisah dari kawanannya. Kuputuskan untuk membawanya pulang ke rumah. Jika penyu ini sudah dewasa akan ku kembalikan ke pantai. Agar ia bisa menikmati hidup bebas di laut seperti penyu-penyu lain. Saat aku berbalik akan pulang ke rumah, ternyata aku salah! Ini bukan pantai. Ini adalah hutan. Hutan yang memiliki pohon-pohon besar dan rimbun. Hutan ini terasa gelap dan menakutkan. Mata-mata tajam dari balik pepohonan seakan sedang mengawasiku. Suara burung hutan menggaung di telingaku. Saat ku lihat penyu kecil ditangan yang ku bawa tadi, ternyata tak ada. Yang ku bawa adalah seekor burung pipit kecil berwarna kuning. Aku kaget dan segera melepaskannya. Ia kemudian terbang tinggi meninggalkanku sendiri di hutan yang gelap ini. Lututku terasa lemas. Kakiku kemudian jatuh berlutut ke tanah. Aku menangis. Aku takut aku tak bisa pulang ke rumah. Saat aku benar-benar putus asa dengan situasi ini, tiba-tiba seorang pria berpakaian seperti di film colossal datang mengulurkan tangannya kepadaku. Kulihat sekujur tubuhnya bertebaran cahaya seperti diiringi kunang-kunang. Kuraih tangannya. Dia lalu mengajakku berlari. Kami berlari seperti sedang kabur dari sanderaan musuh. Saat berlari itu kurasakan hatiku benar-benar tenang. Tak ada lagi rasa takut akan gelapnya hutan yang kurasakan tadi. Entah mengapa rasanya benar-benar nyaman. Aku merasa tidak sendiri lagi. Aku seakan yakin bahwa dia adalah orang baik yang akan menyelamatkanku dari hutan ini.
Sampailah kami pada suatu tempat yang terang.
Kamipun berhenti. Kami sampai di sebuah pantai. Aku ingat sesuatu. Pantai ini
adalah pantai sebelum aku berada di hutan tadi. Ya, ini adalah pantai itu. Aku
kemudian berlari menuju bibir pantai dan bermain-main air untuk meluapkan
kebahagiaanku karena berhasil keluar dari hutan. “Ayo kita main air dulu baru
pulang ke rumah”, kataku pada pria itu sambil melihat ke arahnya. Aku terkejut.
Ternyata pria itu adalah Elang! Ternyata Elang yang menyelamatkanku dari hutan
yang gelap tadi. Aku kemudian berjalan menjauhinya. Aku takut. Aku tidak ingin
ada orang tahu bahwa aku sekarang sedang bersama Elang. Aku tidak ingin ada
orang yang tahu bahwa Elanglah yang menyelamatkanku dari hutan tadi. “May...
ayo kita pulang ke rumah”, kata Elang. “May... ayo kita pulang ke rumah”,
katanya sekali lagi. Namun aku tidak menjawab dan terus berjalan menjauhinya.#
-Tulit-tulit...Tulit-tulit....-
Nada panggilan masuk membangunkanku dari tidur. Ku
cari hp di sepanjang ranjang tempatku tidur. Ini dia! Tertulis di hp –Encin Calling. Dengan nyawa yang
belum terkumpul penuh, ku tekan tombol telepon berwarna hijau.
“Iya Cin.” Suaraku dengan nada khas orang baru
bangun tidur.
“May... ntar siang ada acara gak?”
Ku coba mengingat-ingat kegiatan apa yang mungkin
telah aku agendakan. Sepertinya kosong. “Gak ada Cin. Kenapa?”
“Mau ngajak nonton karnaval, bisa gak May?”
“Oh... iya-iya...” jawabku.
-Tiit- panggilan berakhir.
Secercah cahaya mentari
pagi menerobos jendela kamarku. Mataku sedikit silau karenanya. Kulihat jam di hp. Ternyata sudah pukul 07:00 pagi.
Cukup pulas juga tidurku. Sekilas bayangan mimpi muncul di mataku. “Aihhh.”
#
Itu mereka, Encin dan
Siska. Kulambaikan tangan pada keduanya. Sepanjang jalan dari Lapangan Rindam –
Plengkung – Alun-alun – Pecinan – sampai depan hypermarket Giant di jalan
ikhlas padat merayap bagai lautan manusia. Tak hanya warga kota Magelang, turis
dari kota lainpun datang berduyun-duyun untuk menyaksikan petunjukan ini. Karnaval
Sejuta Bunga yang diadakan pemerintah kota Magelang untuk mempromosikan sektor
pariwisata. Sebelumnya Encin sudah memberi tahu posisi kami akan menyaksikan
karnaval tersebut. Di depan swalayan Gardena, tepatnya di depan penjual kembang
gula. Kurasa posisi tersebut strategis, sehingga mudah untukku menemukan mereka.
Kuperhatikan saksama Encin dari jauh. Hari ini dia kelihatan berbeda. Kemeja
putih kotak-kotak, celana skiny jeans, dan sepatu snikers yang ia pakai
membuatnya terlihat lebih rapi. Tidak seperti biasanya yang berpenampilan
santai dengan kaos oblong.
“Lama banget buk, kita
nungguinnya sampai garing nih,” celetuk Siska.
“Hehe maaf,” jawabku.
“Wah, tumben nih Encin rapi banget,” kataku mengalihkan pembahasan.
“Tau tuh katanya lagi
jatuh cinta,” sindir Siska. “Ngawur,” Encin menimpali. Kulihat pipi Encin
memerah. Siska dan aku lalu tertawa meledeknya.
Satu persatu peserta
karnaval memamerkan pertunjukannya. Ada yang memakai kostum princess lengkap dengan aksesoris bunga,
mobil yang telah diubah laksana taman bunga berjalan, ada juga peragaan busana
dengan tema sejuta bunga yang dirancang oleh para siswi SMK N 3 Magelang.
Selain itu masih banyak pertunjukan lain yang tidak kalah heboh. Mereka
masing-masing menampilkan pertunjukan yang unik namun tetap mengusung tema sejuta
bunga sebagai branded kota Magelang.
Sungguh luar biasa.
“May... “ Encin seperti mengatakan
sesuatu padaku. “Apa? Gak denger,” aku memasangkan telinga ke arahnya. Sorak
sorai penonton juga sound dari
pertunjukkan sedikit membisingkan telingaku. “Tunggu disini,” katanya kemudian.
Encin berlari belakang, ke arah penjual kembang gula. Aku dan Siska saling
bertatap muka, merasa aneh dengan sikap Encin. “Ini..” nafas Encin sedikit
terengah. Tangan kanannya membawa kembang gula dan tangan kirinya memegang
balon. “Aku udah lama merhatiin kamu,” katanya dengan nafas lebih tertata. Ia
lalu menarik nafas panjang lalu melanjutkan, “Mau jadi pacarku gak?”
Jelas sekali. Jelas sekali
saat ia mengatakan itu. Seperti keramaian yang ada di sekitar kami untuk
sementara di-mute. Siska lalu
menggandeng tanganku. Wajahnya memancarkan rona berbunga-bunga. Berbeda dengan
ku yang kaget, bingung, dan mendadak speechless.
“Tapi..” belum selesai aku berbicara, kembang gula yang dibawa Encin sudah
berada di depan hidungku. “Aku butuh jawaban kamu sekarang,” Ia lalu
menyingkirkan kembang gula itu. “Kalo kamu mau jadi pacarku, kamu ambil kembang
gula ini, kalau ndak, ambil balon ini, terbangin aja ke langit, biar dia dan
perasaanku pergi bersama angin.”
Aku benar-benar syok,
tidak tahu harus bagaimana. Yang aku tahu, saat itu wajah Encin benar-benar
terlihat tulus. Aku melihat ke arah balon. Balon itu sangat lucu, bergambar
spongebob dan berwarna kuning. Dan aku sudah menentukan pilihan. Kuambil balon
yang dibawa Encin.
“Balonnya lucu banget,
sayang kalo diterbangin. Mending tak bawa pulang aja,” mendengar kalimat tadi Encin
dan Siska terdiam. “Makasih ya kembang gulanya,” lanjutku. #Hug :’)
Sorak sorai penonton dan sound pertunjukan seakan tertuju pada
kami. Kuntum-kuntum bunga bertaburan, menjadi accessories yang menambah cantik suasana hari ini. Kalau ada yang
bertanya mengapa aku mengambil kembang gula, satu-satunya alasan ialah karena
aku ingin mengambilnya. Tak ada alasan bagiku untuk tidak menyambut baik
perasaan Encin. Dia baik, tulus, dan aku telah lama mengenalnya. Menurutku membuat
Encin kecewa pada hari yang indah ini sungguh tidak bijaksana. Dan pun bukankah
ada bebasan jawa yang mengatakan tresno
jalaran saka kulina? Ketika aku terus bersama Encin, aku yakin suatu saat nanti
perasaan simpati seorang sahabat ini akan berubah menjadi rasa sayang layaknya sepasang
kekasih. Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar