Pages

Subscribe:

Selasa, 14 Februari 2012

Semburat Cinta Mayang (bag.1)


Aku menyingkap tirai sedikit. Terlihat ibu sedang berbincang dengan seseorang. Perbincangan yang sepertinya ringan namun membuat jantungku deg-degan bukan kepalang.


“Lagi nguping ya mbak?” seseorang mengagetkanku.

“Hush... Enak aja.. Mbak cuma pengen liet yang kamu panggil pakdhe-pakdhe itu.” jawabku sewot.

“Pakdhe Kartono, Mbak!” jawabnya.

Aku menoleh ke arah Lusi, adikku. Ia meringis. Lalu keluar ke beranda dengan
baki di tangannya.

“Ini Pakdhe minumnya.”

“Yoh. Maturnuwun cah ayu.”

“Mbak mu ning ndi Lus? Iki ana Pakdhe Kartono kok malah umpetan ning kamar.” kata ibu. “Kono diundangke. Pakdhe arep kenalan.” perintahnya.

Mata Lusi langsung membidikku. Aku melotot, sedikit mengancam. Semoga Lusi tahu apa maksudnya. Aku belum mau untuk bertemu dengan pakdhe itu. Apalagi berkenalan.

“Mbak Mayang masih tidur, bu. Kasihan tadi baru pulang ngampus, sepertinya kecapekan.” jawabnya ringan. Lalu menoleh ke arahku dan meringis.

#

Pagi ini mendung. Tanda akan turun hujan. Aku sedang memanasi motor Kharisma-ku. Rutinitas sehari-hari sebelum mengantar Lusi ke sekolahnya kemudian segera melaju ke Universitas Tidar Magelang, kampusku.
Kulirik jam di tangan ku. 06:46. Sudah dua puluh menitan aku menunggu Lusi disini, tapi ia tak keluar-keluar dari dalam rumah.

“Lus... Lusi! Ayo cepetan berangkat. Nanti kamu telat.” teriakku memanggil Lusi. Namun tak ada jawaban.

“Lus... Lusi??” panggilku sekali lagi. Tetap tak ada jawaban.

Karena tak sabar menunggu, kulangkahkan kaki menuju pintu masuk kedalam rumah. Siapa tahu Lusi sedang memakai sepatu, atau sedang mencari bukunya yang ketlingsut.

“Lusi kan nginep ning omahe Pakdhe Kartono, Nduk.” suara ibu dari dalam rumah.

Sekarang ibu berada tepat di hadapanku.

“Loh? Kok kula mboten ngertos, Bu.” kataku.

“La kon ngerti piye. Ket wingi ning njero kamar terus kok.” jawab ibu.
Oh iya. Pantas saja tadi malam aku tidak mendengar suara remaja ceria itu. Apa karena aku terlalu sibuk mengerjakan makalah? Atau karena aku terlalu menyibukkan diri dengan makalah agar aku tidak tahu hal apa saja yang terjadi di luar kamar?

“Bu, Pakdhe Kartono niku belum jadi muhrim kita. Kok ibu bisa membiarkan si Lusi nginep di rumah Pakdhe Kartono itu tho? Malu sama tetangga sana. Apalagi status Pakdhe Kartono duda. Nanti kalau dikira si Lusi simpenannya Pakdhe Kartono bagaimana coba?” nadaku sedikit tinggi.

“Nduk, aja nesu-nesu sik tho. Si Lusi kuwi nginep ning kono gawe ngancani Sindu. Mas Kartono wingi kae rene arep pamit lunga menyang Semarang. Apa kowe tega bocah limang tahun dewean ning omah?” terang ibu.

“Kenapa si Lusi sih bu yang disuruh menemani? Apa tidak ada saudara yang lain?”

“Lusi sing pengin ngancani. Ono ngopo tho nduk? Kowe kuwi nek ora seneng karo uwong mesti wae golek-golek kesalahane.” kata ibu menyelesaikan pembicaraan.

#

Benar saja. Hujan turun begitu deras. Padahal baru separo perjalanan dari rumahku di Mungkid menuju kampusku di Magelang kota. Kuputuskan untuk ngiyup memakai manthel di depan  toko yang belum buka di jalan Ikhlas.

Sial! Permasalahan klasik saat naik motor dan hujan. LUPA MEMBAWA MANTHEL. Ku ambil handphone di sakuku. Kucoba menghubungi satu persatu nomor di kontak. Siapa tahu ada yang mempunyai dua manthel dan mau membawakannya kesini untukku. Namun mereka semua tak ada jawaban. Ku putar otak. Bagaimana bisa sampai di kampus secepatnya tanpa berbasah-basahan. Encin! Tiba-tiba terpikir ide untuk menghubungi dia. Namanya Satrio. Namun aku dan teman-teman biasa memanggilnya Encin (singkatan secara Jawa dari kata China), karena matanya yang memang sipit khas orang-orang Tionghoa. Padahal dia Jawa tulen. Encin adalah temanku sejak masih duduk di bangku SMA. Kami cukup dekat. Terlebih lagi rumah kami sama-sama Mungkid. Pasti dia mau membawakan manthel untukku. Kuputuskan untuk meneleponnya saja. –Tuut....TuuT....

“Halo?”

“Halo, Cin. Kamu udah ke kampus?”

“Belum, May. Ini lagi mau berangkat.”

“Duh, kebetulan banget. Bisa jemput aku gak Cin. Aku kehujanan. Lupa gak bawa manthel.”

“Bisa-bisa. Posisi?”

“Depan toko Abadi, Jalan Ikhlas. Kamu tahu motorku kan Cin? Kharisma warna Oranye. Aku parkirin di depannya kok. Secepatnya ya Cin. Aku kuliah jam delapan nih. Makasih banyak.” –Tiit-

Kuakhiri percakapanku dengan Encin di telepon. Semoga saja dia cepat sampai. Hujan yang kuharap segera usai pun semakin lama malah semakin deras. Disertai angin dan sambaran petir yang sedikit menakutkan.

“Astaghfirullahal’adzim!” sontakku kaget.

Seorang pria telah berdiri di pojok kiri depan toko. Memakai kaos putih, celana jeans, dan mencangklong ransel besar. Siapa dia? Sepertinya tadi hanya ada aku di tempat ini. Kapan dia datang dan darimana? Kupandangi terus dia. Kaosnya basah, rambutnya sedikit berantakkan, faktor kehujanan. Sedikit demi sedikit aku bergeser menjauhinya. Bagaimanapun juga aku harus waspada. Dalam hujan sederas ini siapapun bisa nekat melakukan tindakan kriminal. Jadi ingat dengan ibu di rumah. Sebelum berangkat dan kehujanan tadi aku sempat berucap kasar kepadanya. Maafkan aku ibu.

#Malam itu, ketika aku masih duduk di bangku SMA, hujan turun begitu deras. Suara guruh bergemuruh di langit. Samar-samar terdengar dari luar kamar, dua orang beradu mulut. Bapak dan ibu. Hal yang sudah sering terjadi. Apalagi semenjak bapak kena PHK dari kantornya. Sebenarnya bapak tidak bersalah. Hanya kena lugut dari buah nangka yang tidak sengaja ia cicipi. Teman bapak, Om Arifinlah yang bersalah. Om Arifin adalah manager di P.T Armada Tunas Jaya, kantor bapak dahulu. Dia di PHK dari kantor setelah terbukti menyalahgunakan gaji yang seharusnya diterima para karyawan. Tiga hari setelah pemecatan kerja Om Arifin, bapak dan tujuh orang teman bapak yang lain dipanggil oleh pihak Direktur. Ternyata, sebelum dipecat, Om Arifin memberikan daftar kemana saja uang haram itu digunakan. Dan ternyata ada nama bapak di daftar tersebut. Memang, sebelum dipecat Om Arifin dikenal sebagai sosok pimpinan yang baik hati dan dermawan. Ia sering menjajakan anak buahnya apalagi jika ada kerja lembur. Suatu hari, Om Arifin memberikan amplop kepada beberapa anak buah dan salah satunya bapak. Tidak ada prasangka buruk sedikitpun. Bapak dan teman-teman bapak yang lain hanya berfikir sederhana, “mungkin ini adalah upah tambahan hasil kerja keras dan lembur mereka”. Ternyata apa yang mereka pikir salah. Om Arifin tak sebaik yang ada di mata mereka selama ini. Ternyata itu adalah uang para karyawan yang digelapkan Om Arifin.

Ibu menangis sambil berkata bahwa ia sudah tidak kuat dengan omongan tetangga. Bapak kemudian mengatakan bahwa bagaimana bila ia pergi saja. Terdengar lagi tentang uang listrik, uang SPP, sampai dengan uang masuk kuliah untuk kuliahku nanti. Dalam derasnya hujan malam itupun ketakutanku terjadi. Segera saja aku beranjak keluar kamar menuju tempat bapak dan ibu beradu. Ruang tamu. Sudah ada Lusi disana sambil menangis dan memeluk ibu. Kulihat bapak menenteng tas ransel besar.

“Bapak mau kemana?” tanyaku. Namun tak ada jawaban.

“Bapak mau kemana?” tanyaku sekali lagi dengan nada yang meninggi.

“Sudah tidak ada guna bapak tinggal di rumah ini, Nduk.” jawab bapak dengan suara rendah.

Aku membujuk-bujuk ibu supaya menghentikan niat bapak untuk pergi. Kulihat mata bapak berkaca-kaca. Baru kali itu kulihat bapak rapuh sebagai lelaki. Namun ibu hanya diam. Seakan memang menghendaki agar bapak pergi meninggalkan rumah kala itu. Suara guntur mengiringi langkah kepergian bapak. Hanya bayangan bapak yang kulihat. Yang semakin lama semakin menghilang dalam gelap hujan di malam itu.#

“Bawa handuk gak?” seseorang membuyarkan lamunanku. Ternyata pria itu.

“Ndak.” jawabku singkat. “Tapi ada sapu tangan.” tambahku.

“Boleh pinjem bentar gak?” katanya sambil tersenyum.

Dipakainya sapu tanganku untuk mengelap tangan dan wajahnya yang basah. Kasihan sekali dia. Kehujanan dengan membawa ransel besar. Sepertinya dia baru sampai Magelang.

“Ngantuk ya? Kok matanya merah sih.” tanyanya sambil memperhatikan mataku.

Baru kusadari. Ternyata dari tadi mataku sudah merah. Berkaca-kaca.

“Hehe.. Iya. Masnya baru sampai Magelang?” tanyaku basa-basi.

“Iya. Kok tahu?” jawabnya dengan nada sedikit menggoda. Aku diam saja. 

“Bercanda.” tambahnya sambil nyengir.

Kami pun berkenalan. Ternyata namanya Elang, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Diponegoro semester VII. Dua tahun lebih tua dariku. Sebenarnya dia asli Semarang. Namun setelah ibunya meninggal dua tahun yang lalu, Elang sekeluarga pindah ke Magelang.

“Kamu ambil jurusan apa sih di Untid?” tanya Elang padaku.

“Kimia.” jawabku sambil tersenyum.

“M.m.m.. Bagus dong. Orang eksak kaya kamu sama orang sastra biasanya berjodoh loh..” dia lalu tertawa setelah mengatakan pernyataan itu padaku.

Elang memang pandai bergaul. Orang bilang sih supel. Baru berapa menit kami berkenalan namun kami sudah sangat akrab. Seperti teman lama yang baru bertemu lagi. Dia menceritakan banyak hal kepadaku. Tentang teman kostnya di Semarang yang suka nglindur, kecintaannya pada bola, sampai cerita bahwa sebenarnya dia tak mau pindah ke Magelang, sudah nyaman di Semarang katanya, juga karena banyak kenangan bersama ibunya di kota tersebut.
Pikiranku teralihkan. Encin? Kenapa dia belum juga sampai? Kulirik jam di tanganku. 07:43. Lima belas menit lagi kuliah dimulai.

“Kenapa sih May kok resah banget? Takut aku ini penculik ya? Hahaha..” tanya Elang sambil tertawa.

“Iya habis kamu kaya penculik sih. Hahaha...” kataku membalas gurauan Elang.

-Thin..Thin- Suara klakson motor melengking di telingaku. Panjang umur si Encin. Baru saja dibatin dia langsung muncul. Encin kemudian turun dari motor dan berjalan ke arahku.

“Sorry ya May lama. Hehe.” kata Encin.

“Banget.” jawabku singkat. “Oh iya Cin, kenalin ini Elang. Dia anak Undip.” Mereka kemudian bersalaman.

Kupakai manthel yang dibawakan Encin. Kukenakan helmku. Aku bersiap-siap menerjang hujan yang masih saja deras. Kulihat Elang dan Encin sedang mengobrol.

“Yuk Cin berangkat.” ajakku pada Encin mengalihkan obrolan mereka.

“Elang, makasih banget ya. Jadi ada temen ngobrol tadi. Aku duluan ya.” kataku kemudian pada Elang. Lalu dia tersenyum.

Kulajukan motorku menembus derasnya hujan di pagi ini. Bagaimanapun juga, aku harus cepat-cepat sampai di kampus sebelum kuliah dimulai. Elang. Kuharap hujan cepat reda agar ia tak berlama-lama menunggu di tempat itu sendiri.Samar-samar kulihat bayangan Elang lewat kaca spion.

“Aduh....” aku teringat sesuatu. “SAPU TANGANKU.” kataku kemudian tanpa ada seorangpun yang mendengar. >,<

-to be continue-

0 komentar:

Posting Komentar

 
Rainbow Arch Over Clouds