Pages

Subscribe:

Selasa, 21 Februari 2012

Semburat Cinta Mayang (bag.2)


Mata kuliah terakhir. Lima belas menit lagi kuliah usai. Namun rasanya aku tak ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Aku lebih senang menghirup udara luar yang tenang ini. Melepaskan emosi lewat barbagai visual yang kulihat. Menghirup udara dalam-dalam. Dan merasakan hembusan angin yang membuat pikiranku segar. Seperti komputer yang butuh direfresh.

Dari jendela, kuamati tanaman mawar yang tumbuh di taman depan kelas. Tak ada bunga. Hanya batang, akar, dan beberapa helai daun. Namun meski begitu, kulihat mawar itu sungguh kuat. Akarnya benar-benar kokoh mencengkeram bumi. Tiupan angin tak menggugurkan satupun daunnya yang hanya beberapa helai itu. Pikiranku lalu mengandai-andai. Andai mawar itu berbunga, pasti ia akan menjadi tanaman mawar yang sempurna. Tak hanya dihias oleh kelopak bunga yang indah, namun juga akar yang kuat, batang yang kokoh. Dan kupu-kupu yang cantikpun akan senantiasa menyambangi mawar itu, tuk menghisap madunya.


Jam kuliah berakhir. Kumasukkan buku-buku ke dalam tas. Tiga mata kuliah dalam satu hari benar-benar menguras tenagaku. Sepertinya aku butuh sesuatu yang segar. Soup buah sepertinya tepat untuk menghilangkan hausku ini. Akhirnya kuputuskan untuk jajan di cafetaria, barangkali sepuluh atau lima belas menit, setelah itu baru pulang.

Kulihat sore ini langit begitu cerah. Tidak seperti pagi tadi, mendung. Semburat-semburat sinar jingga terpancar dari ufuk bumi bagian barat. Burung-burung beterbangan. Mereka seakan bermain-main menerjang angin yang berhembus sepoi-sepoi. Sungguh indah Tuhan menciptakan alam ini.

“May... Mayang!!” seseorang menghentikan langkahku menuju cafetaria.
Ku cari suara yang memanggilku. Ternyata Siska. Kuberikan senyum manisku padanya.

“Mayang.... maaf... ndak bisa balas smsmu tadi. Aku gak punya pulsa....” katanya menirukan gaya salah satu iklan operator seluler.

“Iya.. iya.. gak papa.” jawabku sambil tertawa. Kamipun berbincang sambil berjalan menuju cafetaria.

“Tadi kamu sampai di kampus ndak hujan-hujanan kan?” tanyanya padaku.

“Ndak kok, aku tadi dibawain manthel sama Encin. Hehe..” jawabku padanya.

“What?” Siska menghentikan langkahnya. “Cie... cie..... ada apa nih Mayang sama Encin. Patut dipertanyakan.” lanjutnya sambil menyelidik mataku dan memanggut-manggutkan kepalanya. 

“Apa sih sayang... orang sama Encin doaaang.” jawabku sambil mencubit dua pipinya yang tembem.

“Aduduhh....” Dia mengelus-elus pipinya. “Sakit Mayang.......” katanya padaku. Kemudian melanjutkan, “Siapa tahu kalian CinLok... Hahahaha..” teriaknya kemudian berlari sambil tetap menggodaku.

Aku dan Siska adalah sahabat akrab semenjak duduk di bangku SMA. Aku, Dia, dan Encin satu sekolah dahulu. Kini kami bertiga satu almamater, satu jurusan, bahkan satu prodi. Benar-benar berjodoh. Siska adalah pribadi yang periang. Dia delapan bulan lebih muda dariku. Meski begitu akulah yang sering meminta nasehat padanya. Di balik sikapnya yang lucu dan periang itu, tersimpan kedewasaan melebihi orang-orang lain yang mungkin lebih tua darinya. Dan salah satunya aku.

Sesampainya di cafetaria, kupesan dua mangkok soup buah. Satu untukku dan satu lagi untuk Siska. Kami kemudian mencari tempat duduk yang kosong setelah mendapatkan minuman yang kami pesan. Dua bangku di pojok ruangan dekat jendela. Kurasa itu tempat yang nyaman untuk sekedar mengobrol sambil menikmati segarnya soup buah ini. Kamipun akhirnya duduk disana.

“Hemm..... seger banget soup buahnya.” kata Siska. “Iya kan May? Mayyyy..... kok nglamun sih? Yahhhh..... Aku tahu nih, kamu pasti lagi mikirin mas Encin kan? Hahaha...” tambahnya meledek.

“Enggak kali.. Hehe..” kataku lalu meringis.

Elang. Tiba-tiba aku teringat pertemuanku dengan Elang tadi. Pertemuan yang hanya beberapa menit namun terasa sangat menyenangkan. Sikap Elang yang sangat easy going itu membuatku nyaman saat mengobrol dengannya. Oh iya, sapu tanganku masih ada padanya. Sungguh sayang apabila sapu tangan kenang-kenangan saat study tour ke Bali itu akhirnya dibuang. Namun, sudahlah, toh mustahil aku bertemu dengannya lagi. Dan jika bertemu mungkin dia sudah amnesia dengan wajahku. Apalagi sapu tanganku yang butut itu. ==’

#

Aku masih berada di kamar. Malam ini malas rasanya untuk bergerak keluar. Aku lebih senang menghabiskan waktu dengan mendengarkan radio. Lagi pula bagiku kamar ini sungguh menyenangkan. Ada foto-foto dari aku masih SD, SMP, SMA, juga foto-fotoku sewaktu pertama kali menjadi mahasiswa yang sengaja kupampang sebagai penghias di dinding kamar. Disitu terlihat fotoku bersama Siska dan Encin yang sedang memamerkan nama-nama aneh khas kakak-kakak angkatan yang dibuat untuk memperkenalkan kampus kepada kami. Ada juga fotoku saat masih SMP bersama ayah yang sedang memamerkan kerang-kerang kecil yang kami dapatkan saat berlibur di pantai Pangandaran, Jawa Barat. Ada juga fotoku saat menjadi pengipas nganten di pernikahan saudaraku ditemani ibu dan Lusi. Terlihat Lusi melendetkan badannya ke badan ibu dengan wajah cemberut. Saat itu masih kuingat Lusi sebelumnya menangis karena cemburu tidak ikut dipacaki. Sungguh menyenangkan saat-saat itu. Saat dimana keluarga ini berkumpul lengkap. Lagu Agnes Monica yang berjudul Rindu sedang mengalun dari channel 101 FM, Radio Polaris Magelang.

“Mbak..” samar-samar kudengar suara seseorang memanggilku. Kukecilkan volume radio.

“Mbak dipanggil ibu!” Ternyata Lusi. Akupun segera beranjak keluar kamar.

Ibu sedang tiduran di ruang televisi sambil menonton sinetron favoritnya, Binar Bening Berlian.

“Wonten napa, Bu?” tanyaku padanya. Ibu kemudian menoleh ke arahku, lalu berkata,

“Sesuk awakmu ngancani ibu ning omahe Pakdhe Kartono yo, nduk?”

Aku diam sebentar. Berpikir bagaimana cara untuk menolak ajakan ibu ini. Bohong sekali jika aku mengatakan besok kuliah. Besok adalah hari Sabtu. Jika aku mengatakan ada tugas pasti ibu menyuruhku mengerjakan pada sore harinya. Atau pada hari Minggunya. Akhirnya ku iyakan saja ajakan ibu untuk berkunjung ke rumah Pakdhe Kartono, walaupun aku belum ingin untuk mengenalnya. Setelah mendengar kesanggupanku itu, mata ibu lalu berbinar, senyuman tersimpul di bibirnya, kulihat ia begitu senang. Akupun ikut tersenyum. Bukan senyuman karena besok aku akan mengenal pakdhe itu, tapi karena aku melihat ibu tersenyum yang menandakan ibu sedang merasa bahagia.

#

Aku mengamati foto besar yang terpajang di dinding, yang terbingkai figura emas yang kukira pasti mahal harganya. Seorang wanita sedang duduk sambil menggendong bayinya. Di samping kiri wanita tersebut berdiri sang suami berbaju batik senada dengan baju yang ia kenakan. Di samping kanannya berdiri seorang remaja laki-laki berkacamata, berkulit sedikit gelap, yang juga memakai baju batik. Ku amati wajah wanita itu. Matanya sungguh bening kecoklat-coklatan. Rambutnya hitam bergelombang. Kulitnya putih langsat. Senyum manis tersungging dari bibirnya. Benar-benar cantik dan terlihat tetap muda. Meski kutaksir umurnya sudah berkepala empat. Ku amati wajah wanita itu. Wajah dan senyumnya benar-benar mirip seseorang yang sering kulihat. Atau mungkin kukenal. Apa mungkin wajah ini mirip artis sinetron? Tapi siapa? Pikiranku masih terus mencarinya.

“Kuwi foto ibune Sindu, Nduk.” seseorang tiba-tiba memberitahuku.

“Cantik sekali, Pakdhe.” jawabku sambil tersenyum.

“Iya memang. Tapi ibumu tidak kalah cantik bukan?” tanyanya padaku. Aku diam sebentar lalu mengalihkan pembicaraan,

“Dik Sindu dimana, Pakdhe? Saya ingin segera kenalan.” kataku seraya tersenyum.

“Ijeh ning sekolahan tho. Paling sedilut maneh bali. Iki ijeh dipethuk karo kang mas e. Wingi bali seko Semarang.” jawabnya. “Kono Nduk maem disik, mau pakdhe wes masak rica-rica ayam. Jare awakmu seneng rica-rica tho? Kono dirasani masakane pakdhe kalah pora karo masakane ibumu?” tambahnya lalu tertawa.

“Oh.. injih Pakdhe.” jawabku sambil tersenyum.

Tak kusangka. Dirumah sebesar ini hanya ada tiga orang. Pakdhe Kartono, Sindu, dan satu lagi anak pakdhe Kartono yang jarang berada dirumah karena harus kuliah di Semarang. Tidak ada rewang atau sekedar tukang bersih-bersih taman. Padahal aku kira pakdhe pasti sanggup untuk membayarnya. Semua benar-benar ia kerjakan sendiri. Dari mengurus Sindu hingga memasak. Rasanya benar-benar teriris saat mengetahuinya. Kupikir ini yang ibu rasakan. Bukan seperti dugaanku selama ini, dekat dengan pakdhe Kartono karena ia seorang pensiunan tentara berpangkat jenderal.

#

“Ayahhh... Dimana mbak Mayangnya, Ayah??? Cindu mau kenalan.” suara bocah kecil terdengar dari arah luar ruangan tamu ini. Kuletakkan cangkir berisi teh hangat yang baru saja aku minum. Ku kira pasti itu suara Sindu.

“Mbak Mayang......” bocah kecil itu berlari ke arahku. Akupun memberikan senyuman padanya.

“Ayo Sindu salim dulu sama Bu Nur dan Mbak Mayang.” kata pakdhe Kartono. Dia lalu melakukan apa yang diperintahkan pakdhe. Mencium tangan ibu lalu bergegas ke arahku. Sungguh bocah yang manis.

“Ini mbak Mayang ya? Kakaknya mbak Lusi?” tanyanya setelah mencium tanganku dengan gaya anak-anak yang sungguh menggemaskan.

“Iya.... Dek Sindu kelas berapa?” tanyaku padanya sambil mencubit pipinya gemas.

“Kelas nol besal. Sebental lagi mau masuk SD.” jawabnya masih cadel. Kami yang berada disini pun lalu tertawa. “Mbak Mayang, sini Cindu bisikin sesuatu.” katanya kemudian sambil menarik lenganku dan membisikkan sesuatu.

#

“Jadi kamu yang ada di foto itu?” tanyaku pada Elang yang sedang duduk di bangku taman rumah pakdhe Kartono. Diapun menoleh ke arahku.

“Sindu ya yang suruh kamu kesini?” tanyanya padaku sambil tersenyum. Aku kemudian duduk di sebelahnya. Kuamati bunga-bunga cantik yang tumbuh subur di dalam pot-pot kecil. Benar-benar tumbuh dengan baik dan terawat.

“Iya. Katanya kamu yang nyuruh.” jawabku padanya lalu tersenyum. Kamipun terdiam sebentar. Lalu ku lanjutkan perbincangan ini,

“Kamu dulu item yaaa?? Pake kacamata. Sekarang udah kuliah gayanya jadi beda. Sering dandan ya????” kataku seraya menggoda Elang untuk mencairkan suasana. Bisa kurasakan bahwa kami berdua sedang sama-sama kaget dan tak menyangka dengan hal yang sedang terjadi kepada kami ini.

“Kok tau sih?? Kamu liat-liat fotoku ya. Ngefans nih pasti sama aku. Iyakan ngefans??” balasnya sambil tertawa. Akupun kemudian tertawa. Elang masih sama. Sama-sama bisa membuat perasaanku senang dengan gayanya yang kubilang easy going.

“Ih enak aja.” jawabku. “Ngomong-ngomong, gak nyangka ya Lang kita bisa ketemu lagi disini?” kataku kemudian padanya masih sambil tertawa. Elang lalu menatap ke arahku. Diam sejenak kemudian berkata,

“Iya. Gak nyangka kalau kamu bakal jadi saudara tiriku.” jawabnya singkat.
Aku terhenyak. Sebuah pernyataan yang sungguh mengena di jantungku. Pernyataan yang sedari tadi terus kufikirkan saat melangkahkan kaki ke tempat ini. Tak kusangka Elang berfikiran sama denganku. Dan tak kusangka Elang akan mengatakan hal itu secara langsung. Kulihat mata Elang menatap kosong kedepan. Kearah bunga mawar yang tumbuh di sebuah pot yang berada tepat didepannya. Kutarik nafas panjang-panjang, lalu kualihkan pandanganku dari wajah Elang. Kutahan kata-kata yang ingin keluar dari mulutku, kutahan air mata yang sebentar lagi menetes dipipiku. :’(

-to be continue-

0 komentar:

Posting Komentar

 
Rainbow Arch Over Clouds